Diskusi "Jurnalisme di Papua" menghadirkan Victor Mambor (Tabloid Jubi) dan Ahmad Yunus (AJI Bandung), di Sabusu, Jatinangor. Dok. SORAK |
PEMBEBASANBDG, 12 November
2016 — Suasana Saung Budaya Sumedang (Sabusu) bergejolak. Iskra, band yang
berslogan “Membangun Kebudayaan Rakjat, Memenangkan Sosialisme”, menjadi pembuka
diskusi bertajuk “Jurnalisme di Papua” yang diadakan Solidaritas Rakyat untuk
Demokrasi (SORAK) bekerjasama dengan BEM FIKOM Unpad di Sabusu, Jatinangor,
Sumedang, Sabtu (12/11) sore. Redaktur Tabloid Jubi, Victor Mambor, dan anggota
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Achmad Yunus, hadir sebagai
pembicara.
Diskusi ini diselenggarakan
SORAK untuk melihat situasi objektif yang terjadi di Papua. Selain itu, juga
untuk menyoal kemerdekaan pers di Bumi Cendrawasih itu. Selama ini, media-media
arus utama yang ada hanya memberitakan mengenai hal yang memapankan status
quo dengan tujuan seolah-olah ada stabilitas politik. Padahal
tidaklah demikian. Ada unsur-unsur yang bergerak; bergeraknya unsur-unsur itu,
ada yang dimotori kesadaran tentang penindasan di Papua yang mengambil bentuk
kekerasan militer. Dan kekerasan militer merupakan bentuk pendekatan-pendekatan
untuk mengamankan investasi di Papua.
Di awal diskusi, Victor
Mambor dari Tabloid Jubi mengatakan, “Selalu ada represi terhadap jurnalis di
Papua. Terutama terhadap para jurnalis orang asli Papua. Mereka selalu dianggap
sebagai seorang demonstran bukan sebagai seorang jurnalis”.
“Intimidasi
demi intimidasi juga terus terjadi terhadap para jurnalis yang dilakukan oleh
pihak polisi dan tentara. Dan saat ini, yang paling massif, intimidasi ini
dilakukan oleh kepolisian,” tandas Victor.
Perbincangan
selanjutnya dilanjutkan oleh Ahmad Yunus. Ia mengungkapkan bahwa akses untuk
mendapat informasi di Papua sangat sulit. Jurnalis selalu mengalami kesulitan
karena keterbatasan infrastruktur serta ancaman keamanan. “Untuk mengakses
informasi mengenai Papua sangatlah susah. Bahkan, untuk melihat informasi itu,
hanya Youtube-lah yang paling mudah kita akses. Selain itu, Jurnalis selalu
dipersulit dengan infrastruktur dan jurnalis selalu mendapatkan ancaman,” ujar
Ahmad Yunus.
Kemudian, Victor Mambor
mengungkapkan telah terjadi diskriminasi terhadap jurnalis asli Papua. UU Pers
№40 Tahun 1999 yang selama ini berfungsi untuk melindungi kemerdekaan Pers sama
sekali tidak berlaku untuk orang Papua.
“Telah
terjadi diskriminasi terhadap para jurnalis orang asli Papua. Mungkin di tempat
lain UU Pers №40 diberlakukan, tetapi bagi kitorang UU
tersebut tidaklah berlaku. Seperti yang saya bilang tadi, para jurnalis orang
aseli Papua selalu dianggap sebagai para demonstran, bukan sebagai jurnalis,”
ujar pria yang pernah bekerja di harian umum terkenal di Jawa Barat itu.
Presiden Republik
Indonesia, Joko Widodo, pernah mengeluarkan keputusan untuk memberikan
kebebasan jurnalis internasional di Papua. Namun pada praksisnya, kebebasan
terhadap jurnalis internasional di Papua tidak pernah terjadi. Jurnalis
internasional yang meliput di Papua hanyalah jurnalis yang telah
direkomendasikan oleh pemerintah.
Baca juga:
“Jokowi pernah
menjanjikan jaminan kebebasan bagi pers internasional. Namun prakteknya hanya
omong kosong. Kalau masuk, sih, bisa aja. Tetapi tidak ada kebebasan dalam
meliput. Yang boleh diliput, ya, hanya program dari pemerintah. Jadinya percuma
saja, kan yang terpenting adalah kebebasan itu sendiri,” lanjut Victor.
(Tri S)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar